4 Jun 2012

Artikel Dari Website Filem Indonesia



Malaysia Wajibkan Tayang Dua Film Lokal Setiap Minggu

Berita : Senin, 21 Mei 2012 : Amalia Sekarjati

Malaysia mengeluarkan kebijakan baru terkait industri film mereka, yakni mengharuskan dua film Malaysia tayang di bioskop setiap minggunya. Kebijakan ini berlaku 24 Mei mendatang dan merupakan pengembangan dari kebijakan Skema Wajib Tayang yang saat ini berlaku. Pelaksanaan kebijakan tersebut diatur dan dipantau melalui Perbadanan Kemajuan Filem Nasional Malaysia (FINAS), badan pemerintahan yang dibentuk untuk mendorong, memelihara, dan memfasilitasi kemajuan industri film di Malaysia. Kebijakan seperti ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia pada tahun 80an, saat peredaran film diatur oleh Peredaran Film Indonesia (Perfin). Namun, hal tersebut tidak berlaku lagi, walaupun Perfin sebagai lembaga sebenarnya masih ada.

Sebelum peraturan baru tersebut berlaku, Skema Wajib Tayang mengharuskan bioskop memutar satu film Malaysia, yang sudah terdaftar di FINAS, selama empat belas hari berturut-turut di studio yang berkapasitas kursi paling besar pada masing-masing bioskop. Film tersebut bisa diturunkan hanya jika terjadi kondisi tertentu: jumlah penonton kurang dari 30% dari jumlah tempat duduk setelah penayangan empat hari berturut-turut, jumlah penonton tidak kurang dari 15% dari jumlah tempat duduk setelah penayangan tiga hari berturut-turut, atau jika jumlah penonton kurang dari 15%. Jika ada perubahan terkait penurunan film atau penukaran penayangan film ke studio yang lebih kecil, bioskop harus melaporkan kepada FINAS. Jika kebijakan Skema Wajib Tayang yang baru sudah berlaku, maka ada dua film Malaysia yang diperlakukan sesuai kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut diberlakukan ketika film lokal merasa sulit melawan film-film impor. Beberapa film lokal pada tahun 1980 hanya bertahan satu sampai dua hari di bioskop.

Skema Wajib Tayang ini merupakan bentuk dukungan pemerintah Malaysia untuk memelihara industri film di sana dengan mengatur kebijakan ekshibisi film, yang memungkinkan sebuah film mendapatkan jaminan tempat dan masa tayangnya. Seiring meningkatnya produksi film Malaysia, jika hanya satu film Malaysia setiap minggu maka akan banyak film yang menunggu dirilis. Kebijakan baru—dua film setiap minggu dengan masa tayang minimal dua minggu—dianggap bisa menguatkan dukungan terhadap kemajuan industri film di Malaysia.

Prosedur Skema Wajib Tayang di Malaysia sebagai berikut: pembuat film mendaftarkan filmnya empat bulan sebelum tanggal tayang yang diinginkan ke FINAS dengan membawa beberapa dokumen: surat pemberitahuan pembuatan film dan persetujuan dari FINAS (sebelum film diproduksi), surat tanda lulus sensor, anggaran biaya pembuatan film, daftar bioskop yang dipilih, data lengkap film termasuk poster, dan juga materi film untuk ditonton petugas sebelum rilis. FINAS kemudian akan memberitahukan tanggal berapa film tersebut akan rilis sesuai urutan film yang sudah terdaftar di FINAS sebelumnya. Lalu, FINAS yang mengatur dan menjadwalkan ke bioskop. Pengaturan jadwal pemutaran film lokal diatur oleh FINAS, kecuali untuk film-film yang tidak melalui jalur Skema Wajib Tayang dan film impor diserahkan pengaturannya kepada masing-masing bioskop. Jika sudah selesai tayang, baik Finas, pembuat film (produser), dan bioskop, akan mendapat angka jumlah penonton dan juga nilai pendapatan kotor film tersebut.

Insentif

Penghitungan pendapatan bersih yang diperoleh produser, tidak hanya sekadar membagi hasil penjualan antara produser dan pemilik bioskop. Lagi-lagi, pemerintah turut terlibat dalam pengaturan ini lewat kebijakan Skema Insentif Kembalinya Film (Film Returns Incentive Scheme). Dalam skema ini pembuat film bisa mendapatkan kembali potongan pajak sebesar 20 persen (di sini dikenal sebagai pajak tontonan) jika penjualan tiket mencapai 2-4 juta RM, 10 persen jika penjualan tiket melebihi 4 juta RM, dan 5% jika penjualan tiket mencapai 6 juta RM. Untuk film yang penjualan tiket mencapai lebih dari 6 juta RM, tidak mendapat potongan pajak karena dianggap sudah mendapat keuntungan. Skema tersebut berlaku sejak Februari 2011, menggantikan kebijakan potongan pajak hiburan yang sebelumnya hanya berlaku untuk film-film dengan 60% dialog berbahasa Malaysia.

Jadi, nilai pendapatan kotor film (berdasarkan jumlah penonton kali harga tiket yang berlaku di masing-masing bioskop), dikenakan pajak sebesar 20%. Pajak 20% ini dibebankan pada penonton yang mereka bayarkan ketika membeli tiket bioskop. Setelah dikurangi pajak, produser biasanya mendapatkan bagian sebesar 45% dari angka tersebut, dan sisanya merupakan bagian bioskop.

FINAS bertanggung jawab untuk mengurus ke kantor pajak dan mengembalikan pajak 20% tersebut ke produser sesuai dengan Skema Insentif di atas.. Pembayaran ini biasanya diberikan setelah beberapa bulan kemudian. Sedangkan untuk film asing, pajak 20% akan masuk ke dalam kas pemerintah.

Sebagai contoh, peringkat pertama film Malaysia produksi tahun 2011 dengan nilai pendapatan kotor tertinggi, KL Gangster. Dengan biaya produksi sebesar 1,51 juta RM, film tersebut menghasilkan pendapatan kotor sebesar 11,74 juta RM. Setelah dikurangi pajak 20% dan pembagian penjualan sebesar 45%, maka produser film tersebut mendapat sekitar 4,23 RM dan keuntungan sekitar 2,72 juta RM. Film ini tidak mendapaat pengembalian pajak, karena nilai pendapatan kotornya lebih dari 6 juta RM.

Contoh kedua adalah film Aku Bukan Tomboy, yang biaya produksi dan pendapatan kotornya mendekati rata-rata biaya produksi dan pendapatan kotor film Malaysia pada tahun 2011. Film tersebut menghasilkan pendapatan kotor sebesar 2,55 juta RM dengan biaya produksi sebesar 1,51 juta RM. Setelah dikurangi pajak 20% dan pembagian penjualan sebesar 45%, produser film mendapatkan 918.000 RM. Namun, dengan adanya kebijakan intensif tadi, maka produser mendapatkan kembali biaya pajak yang sudah dibayarkan sebesar 510.000 RM sehingga total pendapatan bersih menjadi 1,43 juta RM.

Meningkat

Berdasarkan data yang diakses di www.finas.gov.my, jumlah produksi film Malaysia yang rilis di bioskop, baik yang melalui Skema Wajib Tayang dan yang tidak, dari tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan. Tahun 2009 ada 27 film, tahun 2010 ada 39 film, dan 49 film pada tahun 2011. Rata-rata biaya produksi masing-masing film sebesar 1,5 juta RM atau sekitar Rp 4,5 milyar (2009), 1,42 juta RM (2010), dan 1,44 juta RM (2011). Rata-rata penonton tiap film sebanyak 223.000 orang (2009), 237.000 orang (2010), dan 268.000 orang (2011) dengan harga tiket rata-rata sebesar 8,43 RM atau sekitar Rp 25.000 (2009), 9,3 RM (2010), dan 9,5 RM (2011). Sedangkan rata-rata pendapatan kotornya sebesar 1,88 juta RM (2009), 2,204 juta RM (2010), dan 2,548 juta RM (2011).

Angka tahun lalu menunjukkan setiap film rata-rata menghasilkan pendapatan kotor sebesar 2,548 juta RM atau sekitar Rp 7,7 milyar. Dibanding dengan biaya produksi, hasil rata-rata ini menunjukkan bahwa banyak film yang rugi, walaupun nilai kerugian tersebut diperkecil dengan peraturan insentif tadi. Untuk kembali modal—dengan biaya produksi rata-rata seperti di atas— sebuah film harus bisa mendapatkan sekitar 421.000 penonton atau pendapatan kotor sebesar 4 juta RM, sebelum dikurangi pajak dan tanpa mendapat bantuan insentif.

Untuk tahun 2012, sudah ada 35 film yang terdaftar di FINAS sampai akhir Juni, dan lima film sedang tayang, sementara 16 lainnya sudah selesai tayang. Tahun ini diperkirakan akan ada 70 film Malaysia yang rilis, jumlah produksi film Malaysia terbanyak sejauh ini. Dengan populasi penduduk Malaysia yang hanya 28 juta, angka tersebut tergolong tinggi sebagai angka per kapita.

Sedangkan untuk total jumlah penonton film lain yang beredar di Malaysia dan dibagi berdasarkan bahasa yang digunakan: Cina sebanyak 5, 44 juta (2009), 8, 02 juta (2010), dan 7,42 juta (2011), India sebanyak 2, 33 juta (2009), 3, 27 juta (2010), dan 2,26 juta (2011), Inggris sebanyak 28, 79 juta (2009), 32, 87 juta (2010), dan 36, 21 juta (2011), Indonesia sebanyak 110.000 (2009 dan 2010), 40.000 (2011). Sementara jumlah total penonton film Malaysia: 6,03 juta (2009), 9,24 juta (2010), dan 13,13 juta (2011). Ini berarti film Malaysia hanya kalah dari film-film berbahasa Inggris.

Selain meningkatnya jumlah produksi dan penonton film Malaysia dan dengan berlakunya kebijakan Skema Wajib Tayang, jumlah bioskop pun bertambah. Pada tahun 2009 ada 93 bioskop dengan 485 layar dan 101.165 kursi, sedangkan per Februari 2012 ada 108 bioskop dengan 651 layar dan 123.313 kursi. Kepemilikan bioskop tersebut berada di bawah beberapa jaringan bioskop yang tersebar di dua belas negara bagian Malaysia. Dua perusahaan pemilik bioskop terbesar adalah GSC dan TGV, tetapi ada pula perusahaan baru seperti Lotus dan MBO, walaupun mereka tidak berlokasi di titik-titik utama.

Terkait film impor, distributor u seperti Fox, Tristar, dan Sony ada di Malaysia. Beberapa rantai bioskop, terutama GSC, juga berfungsi sebagai distributor, khususnya untuk film Hong Kong, tetapi ada juga perusahaan seperti Lotus yang mengkhususkan diri dalam mendistribusikan film Tamil/India. Menurut dua sumber praktisi film di Malaysia, persaingan perusahaan film di sana tergolong sehat dan memberikan keuntungan yang cukup besar.

Selain kebijakan di bidang ekshibisi, FINAS juga memberikan dukungan dana yang terbagi ke dalam tiga bentuk bantuan. Melalui FINAS POST, lembaga ini memfasilitasi proses pembuatan film dengan menyewakan peralatan, mulai dari kamera, lensa, peralatan audio, peralatan editing, sampai ruang editing dan rekaman, juga ruang pemutaran kecil. Juga menyewakan studio untukmixing yang disebut Studio Digital Mix Stage. Kemudian juga menyediakan perpustakaan untuk memberi rujukan baik buku maupun materi audiovisual dan juga membuat Galeri Perfilman untuk menyimpan bukti sejarah dan perkembangan industri film Malaysia. Selain itu juga membuat kursus-kursus seperti workshop film yang berlangsung setiap bulan, yang bisa diikuti dengan membayar iuran.

Baik keterangan data atau statistik yang cukup lengkap dan transparan maupun kemudahan mengakses formulir untuk mengajukan surat izin tertentu, semua tersedia di situs FINAS. Mulai dari jumlah penonton, daftar film yang masuk, sampai keterangan waktu yang dibutuhkan untuk mengurus surat-surat yang diajukan. Keterbukaan ini membantu pembuat film mengetahui prosedur dan langkah kerja yang harus ia tempuh termasuk adanya jaminan dan kepastian.

Amalia Sekarjati
Mahasiswa magang dari Universitas Multimedia Nusantara, publisis di Kineforum, dan baru memulai perjalanannya menulis seputar film.


LINK ASAL

p/s : kebijakan = fomular (kot...)


2 comments:

Anonymous said...

kebijakan = polisi

PerangFilem said...

oh ya ke... terima kasih Anon.